Jumat, 07 Desember 2012

Korupsi, Bukti Masyarakat Indonesia Tidak Pernah Belajar Dari Sejarah

Oleh : Angga Yudistira Permana, S.Pd


           Permasalahan korupsi di Negara Indonesia dewasa ini telah menjadi permasalahan sosial yang umum terjadi. Berbicara mengenai korupsi di Indonesia, sebagian masyarakat hanya melihatnya dari satu sudut pandang saja yaitu hanya terbatas pada kasus-kasus besar mengenai “pencurian” uang negara oleh para pejabat. Pengertian mengenai korupsi itu sendiri pun terdistorsi oleh pandangan-pandangan media massa yang hampir selalu menampilkan headline berita mengenai kasus korupsi yang menimpa para politisi dan pejabat negara. Baru-baru ini muncul di media massa mengenai kasus yang menimpa Menpora Andi Malarangeng (saat ini sudah mengundurkan diri) yang dicurigai terlibat dalam skandal Hambalang. Hal ini semakin mempertegas bahwa kasus korupsi seolah-olah hanya akan menimpa tokoh-tokoh nasional yang memiliki jaringan terhadap roda kebijakan publik. Tetapi yang kini jadi pertanyaan, apakah korupsi itu terjadi begitu saja ketika seseorang sudah menjadi pejabat atau memiliki posisi yang nyaman untuk korupsi?
           Korupsi merupakan suatu penyakit sosial yang tidak hanya berupa pencurian dengan sengaja apa-apa yang seharusnya menjadi milik negara, tetapi korupsi juga memiliki pengertian yang lebih luas daripada itu. Seseorang bisa dianggap korupsi apabila dia tidak bisa mempertanggungjawabkan kegiatan yang berhubungan langsung dengan dana publik. Pertanggungjawaban itu berupa laporan tertulis mengenai suatu kegiatan yang menggunakan aset publik. Terkadang manusia sering lupa menulis laporan yang lengkap dan detil yang pada akhirnya akan menyeret pada kasus korupsi. Seseorang yang memiliki watak yang jujur dapat terjerat kasus korupsi ketika ia lupa menulis laporan mengenai kegiatan yang ia lakukan. Bahkan tidak sedikit yang terseret kasus korupsi hanya karena salah dalam menuliskan laporan keuangan, walaupun nominalnya sebatas Rp 1000,-.
            Akan tetapi masyarakat tidak bisa disalahkan atas stigma korupsi yang melekat selama ini. Kasus-kasus besar yang sering ditampilkan di dalam media massa selama ini ternyata tidak membuat efek jera para pejabat publik yang “nakal”. Pemberian hukuman yang ringan, beserta grasi yang diberikan oleh Presiden terhadap terpidana kasus korupsi pada kenyataannya membuat terpida kasus korupsi berada pada zona nyaman. Mereka tidak jera, karena toh ketika mereka keluar dari hotel prodeo, mereka masih bisa menikmati kekayaan dari hasil korupsi. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan melarikan diri ke Singapura dimana kekuatan hukum negara Indonesia tidak dapat menyentuhnya. Hal ini merupakan pembelajaran yang buruk bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Seharusnya para pembuat kebijakan mengambil keputusan yang benar-benar bijak agar hukum benar-benar menjadi pembelajaran yang efektif bagi publik secara keseluruhan.
            Jika ditarik secara historis, kasus korupsi di Indonesia bukan merupakan kasus yang benar-benar baru. Kasus korupsi di Indonesia dapat tumbuh subur akibat paham feodalisme yang masih mengikat kehidupan sosial masyarakat di Indonesia. Di Indonesia, pemimpin yang seharusnya menjadi pelayan publik tidak menjalankan fungsinya dengan baik, mereka malah bertindak seolah-olah mereka harus dilayani oleh rakyat. Pola seperti ini merupakan pola umum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada masa kerajaan-kerajaan dan pada masa kolonialisme di Indonesia. Jiwa “inlander” masih saja melekat di dalam jati diri masyarakat Indonesia. Sebagian dari masyarakat di Indonesia lebih memilih “zona aman” daripada bertindak kritis terhadap kebijakan yang dilakukan oleh “pemimpinnya”. Di dalam diri mereka masih melekat kuat prinsip yang berpendapat bahwa mereka “lebih rendah” daripada “pemimpinnya”. Hal inilah yang pada akhirnya menciptakan kondisi dimana para “pemimpin” memiliki kesempatan untuk menyalahgunakan jabatannya. Masyarakat Indonesia baru bertindak ketika media massa mulai menyoroti ketidakberesan pada diri “pemimpin” mereka. Bisa dikatakan bahwa opini mereka tentang seseorang yang melakukan korupsi hanya terbatas pada opini yang dikembangkan oleh media massa.
            Kasus korupsi yang terjadi pada masa pemerintahan  VOC (baca: kantor dagang belanda di Hindia Timur) tidak dijadikan sebagai sumber pelajaran utama bahwa korupsi dapat menghancurkan suatu organisasi yang begitu kuat dan berusia beratus tahun lamanya hanya dalam sekejap. Usia VOC yang pada saat itu menginjak 198 tahun dapat langsung hancur dan bubar ketika para pegawai VOC melakukan tindakan korupsi. Coba bandingkan dengan umur negara Indonesia yang baru menginjak usia 67 tahun?. Bukan tidak mungkin pada akhirnya kehancuran akan menimpa negara ini, dan pada saatnya pula Indonesia akan bubar, sama nasibnya dengan VOC.
            Sudah seharusnya masyarakat Indonesia belajar dari sejarah kelam pemerintahan-pemerintahan di zaman dulu. Selain itu, masyakarat Indonesia juga harus mulai belajar arti sesungguhnya dari patriotisme dan nasionalisme. Semangat patriotisme dan nasionalisme seharusnya tidak hanya sebatas mencintai produk dalam negeri, mencintai keindahan alam dan menjaga kelestariannya. Tetapi semangat patriotisme dan nasionalisme juga harus ditekankan pada kecintaan akan keutuhan bangsa dengan tidak melakukan tindakan yang dapat merusak keutuhan tersebut. Tindakan separatisme merupakan faktor pemicu yang dapat mendorong pecahnya NKRI, tetapi sebab-sebab dari separatisme juga bisa dimulai dari kegiatan korupsi yang pada akhirnya akan mendorong terjadinya gerakan tersebut.
            Untuk mencegah terjadinya korupsi dalam skala yang luas, seharusnya masyarakat Indonesia juga belajar untuk tidak korupsi pada skal-skala yang kecil, misalnya dengan tidak melakukan korupsi waktu dan belajar menulis laporan kegiatan dengan baik dan benar serta tidak melakukan tindakan mark up yang biasanya dilakukan oleh seseorang agar bisa mendapatkan keuntungan pada suatu kegiatan. Wallahu’alam bishowab.  




Belajar Toleransi Dari Peninggalan Penyebaran Islam di Indonesia

Oleh: Angga Yudistira Permana, S.Pd


Persoalan yang melanda bangsa Indonesia semakin hari semakin kompleks dan menantang untuk dihadapi. Dimulai dari bencana alam, hingga bencana-bencana sosial yang semakin memprihatinkan. Bangsa Indonesia yang sejak masa Hindu-Budha berkembang hingga masa penjajahan dikenal sebagai bangsa yang toleran, ramah, dan berbudi luhur kini harus dipertanyakan kembali kebenarannya saat ini. Perpecahan pun mulai terjadi dimana-mana karena hal-hal yang berbau sara. Prinsip “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tapi satu kini seolah tidak bermakna sama sekali. Orang-orang saling berebut untuk mendapatkan hegemoni karena menganggap bahwa pemikiran mereka paling benar. Selain itu, bermunculan juga kelompok-kelompok ekstrim dengan mengatasnamakan agama melakukan tindakan-tindakan yang sangat tidak berprikemanusiaan, seperti merusak fasilitas umum, membubarkan paksa perkumpulan-perkumpulan yang dianggap mengajarkan ajaran sesat, bahkan berani melakukan tindakan “main hakim sendiri” terhadap orang-orang yang mereka anggap melakukan tindakan maksiat. Hal ini menandakan kehidupan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah semakin hilang maknanya di dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Hilangnya rasa toleransi juga kini mulai terasa dalam kehidupan politik dan keagamaan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di dalam kehidupan politik kini mulai bermunculan kelompok-kelompok ekstrim yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, sedangkan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen yang terdiri dari berbagai jenis suku bangsa dan agama serta kepercayaan. Mereka inilah orang-orang yang telah diberi doktrin-doktrin politik yang menjadikan Islam sebagai alat politik. Mereka tidak memahami bahwa Islam dapat berkembang di Indonesia dikarenakan ajaran Islam yang dibawa oleh wali songo pada masa lampau sifatnya toleran terhadap kebudayaan masyarakat setempat. Mereka tidak paham bahwa Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam betul-betul menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, tidak menjadikannya sebagai alat politik. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan sentimen keagamaan yang begitu kuat, khususnya di wilayah Indonesia Timur yang mayoritas masyarakatnya adalah non muslim. Seperti di Poso misalnya, sejak akhir tahun 90-an terjadi konflik agama yang berujung pada bentrokan bersenjata antara masyarakat yang beragama kristem melawan masyarakat yang beragama Islam. Hal ini dikarenakan salah satu dari kedua agama tersebut ingin memiliki dominasi atas agama lain di berbagai bidang. Sama halnya apabila konsep pendirian negara Islam di Indonesia ini terus dipaksakan, maka bukan tidak mungkin fenomena yang terjadi di Poso akan kembali terulang di wilayah lainnya.
Fungsi pembelajaran sejarah bagi peserta didik bukan hanya untuk menceritakan suatu fakta sejarah, tetapi mereka juga harus diberi pemahaman mengenai latar belakang fakta itu muncul. Islam berkembang pesat di Indonesia sejak awal kemunculannya di Indonesia merupakan fakta yang tidak bisa dibantah lagi kebenerannya, tetapi yang harus difokuskan disini adalah mengapa perkembangan Islam di Indonesia bisa sangat pesat bahkan mengalahkan perkembangan Islam di India yang lebih dulu hadir. Hal inilah yang seharusnya lebih ditekankan kepada peserta didik agar peserta didik paham mengapa dalam sejarah perkembangannya Islam begitu diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal ini akan memberikan penyadaran kepada para peserta didik bahwa gerakan-gerakan ekstrimis yang mengatasnamakan agama, terutama agama Islam, akan banyak membawa dampak yang buruk bagi perkembangan Islam di Indonesia, bahkan lebih parahnya lagi akan membuat persatuan bangsa terancam.
Ajaran Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan dan dibawa oleh para pedagang dari Arab dan Gujarat. Islam diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia dengan cara halus tanpa peperangan, seperti yang terjadi di India misalnya, sehingga masyarakat Indonesia mau menerima ajaran yang masih dianggap baru ini. Selain itu, para wali songo yang bertugas untuk menyebarkan ajaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, melakukan akulturasi antara ajaran Islam dengan kebudayaan masyarakat setempat. Hal inilah yang membuat masyarakat tertarik untuk memeluk agama Islam, serta meninggalkan kepercayaan lama mereka seperti kepercayaan animisme dan dinamisme. Akulturasi semacam itu dilakukan bertujuan agar masyarakat Indonesia tidak terlalu kaget dengan perubahan-perubahan yang harus mereka lakukan ketika mereka menjadi seorang muslim, selain itu para wali juga tidak pernah memaksa seseorang untuk mengikuti ajaran mereka, tetapi para wali mencoba memberi pemahaman bahwa Islam itu adalah agama kedamaian. Inilah salah satu factor yang menentukan kenapa ajaran Islam begitu pesat perkembangannya di Indonesia.
Akulturasi ajaran Islam dengan kebudayaan daerah di Indonesia dapat dilihat dari berbagai peninggalan-peninggalan peradaban Islam di Indonesia. Peninggalan-peninggalan ini sangat membantu kita untuk mengetahui berbagai alasan mengapa ajaran Islam begitu diterima oleh masyarakat Indonesia, bahkan orang-orang muslim di Indonesia pada saat itu dapat hidup berdampingan dengan masyarakat yang masih menganut ajaran Hindu-Budha di Indonesia. Jika dibandingkan dengan zaman sekarang, mungkin cukup sulit untuk menemukan keserasian hidup antar umat beragama yang dicontohkan oleh nenek moyang kita. Peninggalan-peninggalan yang dapat memberikan kita cerminan tentang keadaan tersebut antara lain misalnya:
a.       Kesenian wayang kulit
Kesenian wayang kulit diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai media yang digunakan untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Sunan Kalijaga memahami bahwa sebenarnya bangsa Indonesia itu adalah bangsa yang mencintai kesenian, sehingga ia kemudian mencoba menggelar lakon wayang kulit yang berjudul “Aji Kalimasada”. Apabila ada orang yang tertarik untuk menonton acara wayang kulit tersebut, Sunan Kalijaga meminta orang tersebut untuk membaca dua kalimat syahadat sebagai tiket masuk. Selain itu, isi cerita lelakon yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga juga merupakan dakwah-dakwah Islami yang pada akhirnya membuat masyarakat tertarik untuk mempelajari Islam dan menjadi pemeluknya.
b.      Mesjid Menara Kudus
Mesjid ini dibangun oleh Jafar Shodiq pada tahun 1549 M. Mesjid ini dinamakan mesjid kudus karena di dalam sebuah inskripsi di dalam mesjid tersebut tertulis sebuah kalimat dalam bahasa arab yang artinya “…Telah mendirikan Masjid Aqsa ini di negeri Quds…”. Karena bangunan inilah pada akhirnya Jafar Shodiq diberi gelar Sunan Kudus. Mesjid menara kudus begitu terkenal karena arsitekturnya yang dinilai “sangat berani” dengan memadukannya dengan arsitektur bangunan candi. Sunan Kudus melakukan hal ini dengan tujuan untuk menarik minat pemeluk agama Hindu-Budha untuk mempelajari ajaran Islam. Bahkan menurut cerita rakyat yang berkembang, pada setiap hari jum’at, sebelum melaksanakan ibadah shalat Jum’at, Sunan Kudus selalu memandian sapi-sapi di halaman masjid. Selain itu, untuk menghormati pemeluk agama Hindu, Sunan Kudus mengganti kurban sapi dengan kerbau. Kehidupan toleransi antar umat beragama yang dicontohkan oleh Sunan Kudus sudah seharusnya dijadikan pelajaran bahwa dengan toleransi persatuan dan kesatuan bangsa akan tetap utuh.
Dengan demikian, peninggalan-peninggalan peradaban Islam di Indonesia sudah seharusnya dijadikan sebagai bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang toleran. Selain itu, pemaksaan suatu aturan dengan mengatasnamakan suatu agama manapun tidak akan menjadi solusi, bahkan hanya akan menjadi bumerang bagi keutuhan bangsa. Hal ini jelas sudah tertera di dalam UUD 1945 mengenai kebebasan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menjaga Kelestarian Peninggalan-Peninggalan Bersejarah Untuk Meningkatkan Rasa Bangga Sebagai Warga Negara Indonesia.

Oleh: Angga Yudistira Permana, S.Pd


Sekitar 60 tahun yang lalu, Soekarno pernah mengatakan “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah” (Jas Merah). Begitu pedulinya terhadap sejarah, Soekarno selalu menekankan hampir dalam setiap pidatonya bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya. Hal ini harus kita amini, karena memang pada dasarnya manusia butuh sosok yang bisa dijadikan sebagai inspirator dalam kehidupannya, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah tidak cukup hanya dengan cerita dari mulut kemulut, tetapi juga harus didasarkan pada bukti dan fakta yang nyata. Jika dalam mengenang jasa pahlawan hanya dengan cerita, bukan tidak mungkin di masa yang akan datang generasi muda Indonesia akan menganggap perjuangan pahlawan bangsa Indonesia tersebut sebagai dongeng semata. Jika sudah seperti itu, rasa memiliki dan rasa bangga sebagai warga Negara Indonesia akan memudar bahkan hilang sama sekali.
Para generasi muda di Indonesia, dewasa ini telah menunjukan tanda-tanda melupakan sejarahnya sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang tidak mengenal sosok pejuang kemerdekaan Indonesia, bahkan diantara mereka ada yang tidak tahu bahwa kemerdekaan yang diraih merupakan hasil keringat dan darah para pahlawan. Salah satu indikatornya adalah kurangnya rasa semangat dan keinginan mereka untuk melakukan upacara bendera. Disini perlu sebuah penekanan kepada generasi muda Indonesia secara keseluruhan bahwa pengibaran bendera merah putih pada masa penjajahan dulu tidak dapat dilakukan dengan mudah, bahkan sering dihambat oleh penjajah dengan menebar ancaman apabila ada rakyat yang berani mengibarkan bendera merah putih akan dihukum. Bukan tidak mungkin dari hal semacam ini akan mengakibatkan memudarnya semangat nasionalisme pada diri mereka.
Permasalahan yang penulis paparkan diatas seharusnya dapat dipecahkan oleh praktisi pendidikan IPS, khususnya sejarah untuk bisa kembali memberi penekanan kepada peserta didik selaku calon penerus bangsa untuk bisa mencintai tanah air Indonesia secara utuh. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menunjukan kepada peserta didik bukti dan fakta sejarah mengenai usaha-usaha yang dilakukan oleh para pahlawan di masa penjajahan. Bukti dan fakta tersebut dapat diperlihatkan melalui peninggalan-peninggalan bersejarah yang terdapat di daerah tempat tinggal peserta didik. Peninggalan tersebut dapat berupa monumen, tugu, dan museum-museum. Namun yang menjadi permasalahan disini adalah, banyak peninggalan-peninggalan tersebut yang kurang terurus bahkan rusak dimakan usia. Jika dibiarkan seperti ini, bukti-bukti serta fakta-fakta sejarah ini akan hilang dengan sendirinya.
Jika dibandingkan dengan negara maju, seperti negara-negara di Eropa, upaya bangsa Indonesia untuk menjaga kelestarian peninggalan-peninggalan bersejarah sangat jauh tertinggal. Peninggalan-peninggalan yang ada di Eropa begitu dijaga kelestariannya, karena dengan begitu bangsa Eropa dapat mengetahui asal-usulnya serta bagaimana perjuangan para pahlawan mereka. Selain itu, dari sisi ekonomi, pelestarian peninggalan-peninggalan bersejarah di Eropa begitu dimaksimalkan sedemikian rupa dengan menjadikannya sebagai objek wisata sejarah. Di satu sisi pelestarian tersebut berpengaruh terhadap meningkatnya rasa cinta bangsa Eropa terhadap negaranya, di sisi lain dengan menjadikannya sebagai objek wisata juga turut berpengaruh terhadap bertambahnya devisa negara. Hal ini sangat berbeda dengan perlakuan bangsa Indonesia yang terlihat tidak peduli terhadap peninggalan-peninggalan bersejarah yang ada di Indonesia. Tidak sedikit dari mereka yang menjadikan monumen atau tempat terjadinya peristiwa bersejarah sebagai tempat pacaran, bahkan ada juga yang melakukan aksi vandalisme, seperti merusak dengan mencorat-coret bangunan-bangunan bersejarah. Jika hal demikian terus berlanjut peninggalan-peninggalan tersebut akan hilang maknanya. Dengan demikian, pernyataan Soekarno mengenai bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya terbukti adanya.
Praktisi pendidikan disini harus selalu berupaya menekankan kepada peserta didik betapa pentingnya peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang. Dengan mencintai dan melestarikan peninggalan-peninggalan bersejarah secara tidak langsung peserta didik akan mengetahui dan menghargai jasa-jasa pelaku sejarah, dalam hal ini para pahlawan, dan hal ini pun akan berpengaruh terhadap rasa bangga mereka terhadap tanah air mereka. Selain itu, berkurangnya rasa cinta kepada tanah air Indonesia juga dikarenakan mereka hanya mendengar saja kisah-kisah para pahlawan tanpa bisa melihat buktinya secara langsung. Padahal, banyak sekali tempat-tempat bersejarah yang kurang terawat, baik dari akses menuju ke tempat tersebut ataupun bangunannya yang sudah rusak dimakan usia.
Peran pemerintah juga sangat penting, khususnya pemerintah daerah, karena jika hanya mengandalkan peran para praktisi pendidikan saja tidak akan cukup. Kepekaan pemerintah sangat diperlukan agar peninggalan-peninggalan bersejarah yang ada di seluruh wilayah Indonesia dapat dipastikan keamanannya dan dijauhkan dari tangan-tangan jahil yang berusaha untuk merusak dan menghilangkannya. Salah satu peran pemerintah yang sangat diperlukan adalah dengan menganggarkan biaya dengan jumlah yang besar sebagai biaya perawatan peninggalan-peninggalan bersejarah yang ada di Indonesia. Jika usaha praktisi pendidikan dan usaha pemerintah ini berjalan beriringan, bukan tidak mungkin keberadaan peninggalan-peninggalan bersejarah yang ada di Indonesia akan tetap ada dan dapat dilihat oleh generasi di masa yang akan datang sebagai bukti bahwa kemerdekaan Indonesia direbut dari penjajah, bukan sebatas pemberian. Hal ini tentu akan membuat bangsa Indonesia semakin bangga dengan apa yang telah di lakukan oleh para pahlawan di masa lalu dan secara tidak langsung akan berdampak pada bertambahnya rasa cinta mereka terhadap tanah air Indonesia. Rasa cinta kepada tanah air serta rasa bangga sebagai warga negara Indonesia akan membentuk rasa nasionalisme yang tinggi, serta pada akhirnya bisa menjaga keutuhan negara secara keseluruhan. Dengan demikian, riak-riak yang dapat memecah keutuhan bangsa dapat dihindari dan persatuan Indonesia dapat dijaga.

Menggali Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Pembelajaran Sejarah Mengenai Perjuangan Para Pahlawan Pada Masa Penjajahan Belanda.

Oleh: Angga Yudistira Permana S.Pd


Dewasa ini bangsa Indonesia sedang mengalami distorsi moralitas yang diakibatkan oleh “invasi” budaya barat. Sebagian besar masyarakat Indonesia baik tua maupun muda telah kehilangan identitasnya sebagai bangsa timur yang ditandai dengan ketidaktahuan mereka tentang adat istiadat bangsanya sendiri. Mereka lebih tertarik untuk mempelajari hal-hal yang berbau budaya pop dibandingkan dengan mempelajari budayanya sendiri. Selain itu, rasa cinta mereka terhadap tanah air Indonesia semakin lama semakin meredup karena anggapan mempelajari budaya sendiri itu susah. Mereka seakan-akan kehilangan panutan yang berasal dari bangsanya sendiri. Bahkan tak sedikit bocah SD yang lebih mengenal tokoh Spiderman sebagai pahlawan dibandingkan dengan Pangeran Diponegoro. Padahal Spiderman merupakan tokoh fiksi hasil rekayasa seniman barat, sedangkan Pangeran Diponegoro nyata keberadaannya. Hal ini berdampak pada semangat nasionalisme mereka yang semakin pudar ketika menginjak usia dewasa.
Masalah yang penulis kemukakan diatas hendaknya dapat dijawab oleh para praktisi pendidikan, khususnya yang mengajar di sekolah dasar. Pembelajaran sejarah atau IPS Terpadu di sekolah dasar memiliki peran yang penting untuk ikut serta dalam menyiapkan peserta didik yang memiliki semangat nasionalisme yang tinggi serta kepribadian yang luhur di masa yang akan datang. Tentu saja semangat nasionalisme ini harus selalu dibarengi dengan kepribadian yang mencirikan bangsa Indonesia secara keseluruhan karena ditakutkan semangat nasionalisme ini akan berkembang menjadi ultranasionalisme yang bertentangan dengan prinsip-prinsip di dalam Pancasila dan UUD 1945. 
Guru di sekolah dasar memiliki peran yang sangat penting dalam membangun kepribadian peserta didik karena sekolah dasar secara umum merupakan fase awal dari jenjang pendidikan di Indonesia. Dengan kata lain, sekolah dasar berperan sebagai fondasi awal bagi pembentukan karakter bangsa. Untuk membentuk karakter tersebut, tentu guru harus mengetahui bagaimana ciri dari kepribadian atau karakter bangsa Indonesia secara umum. Disinilah peran pembelajaran sejarah diperlukan, karena hanya melalui pembelajaran sejarah peserta didik dapat bercermin dari kearifan dan kebijaksanaan tokoh-tokoh yang berperan dalam menulis tinta sejarah bangsa Indonesia. Pembelarajaran sejarah disini tidak hanya berkutat dengan fakta-fakta sejarah, tetapi juga murid harus bisa memahami mengapa fakta sejarah tersebut ada.
Pada dasarnya manusia seringkali lupa ketika ia menghapal sesuatu, tetapi apabila ada suatu peristiwa yang berkesan, ia akan selalu mengingatnya. Tugas seorang guru di sekolah dasar dalam hal ini adalah untuk membuat peserta didik terkesan ketika ia menyampaikan materi pembelajaran sejarah. Tentu saja hal ini tidak cukup dengan gaya mengajar ceramah yang cenderung menceritakan kembali peristiwa sejarah, karena hal ini hanya membuat murid bisa mendengar tanpa bisa mengaitkannya dengan kondisi saat ini. Dengan pembelajaran seperti ini bukan tidak mungkin banyak peserta didik yang lupa akan konten materi yang telah disampaikan oleh guru di kelas. Jika sudah begitu, bagaimana mungkin kepribadian luhur yang diharapkan dapat terbentuk?
Menurut Supriatna (2007: 5) dalam pembelajaran sejarah, kajian mengenai sejarah tertentu harus relevan dengan apa yang berlangsung pada persoalan di masa kini. Dengan bahasa yang sama, ketika membicarakan mengenai Perang Diponegoro harus sampai pada latar belakang kehidupan masyarakat Jawa sebelum terjadinya perang. Dengan hal ini, peserta didik dapat mengetahui persoalan-persoalan yang menjadi latar belakang Pangeran Diponegoro menyatakan perang terhadap pemerintah kolonial Belanda. Penulis melihat dan mengalami bagaimana guru-guru di sekolah dasar hanya mengajarkan sebatas fakta-fakta mengenai Perang Diponegoro, yang seyogyanya tertulis secara jelas di dalam buku teks atau lks. Selain itu, semangat persatuan dan kesatuan yang dipupuk melalui kepercayaan terhadap common enemy, yaitu pemerintah kolonial Belanda, penulis rasa sudah tidak relevan karena saat ini kita hidup di masa damai. Seharusnya, pada masa-masa seperti inilah peran guru di sekolah dasar dititikberatkan pada penggalian nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di dalam diri seorang Pangeran Diponegoro agar kedepannya bisa dijadikan panutan atau tokoh favorit peserta didik.   
  Perang Diponegoro menurut Ricklefs (2007: 254) terjadi karena Pangeran Diponegoro tidak suka dengan gaya hidup kraton yang tidak lagi mengindahkan aturan-aturan adat dan agama. Kebiasaan keluarga kraton yang selalu berpesta dan minum-minuman keras memaksa Pangeran Diponegoro untuk keluar dari istana dan memilih menjalani kehidupan di luar istana. Perang benar-benar terjadi setelah pihak keraton dengan bantuan pemerintah kolonial berencana untuk membangun jalan raya baru di daerah Tegalrejo. Pangeran Diponegoro tidak menyukai rencana tersebut karena tanah yang akan dijadikan sebagai lahan jalan merupakan tanah kuburan leluhur yang amat ia hormati. Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya Perang Diponegoro dari tahun 1825-1830.
Kebiasaan buruk yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda ke dalam keratonlah yang memaksa Pangeran Diponegoro untuk keluar dari istana, bahkan melawan ketika Belanda berupaya merusak tanah leluhurnya. Disinilah letak kearifan local yang dapat digali dan diterapkan pada peserta didik. Peserta didik tidak hanya memahami nasionalisme saja, tetapi juga memahami bagaimana bentuk nasionalisme Indonesia itu sendiri. Jika dikaitkan dengan kondisi jaman sekarang, peserta didik dapat meniru langkah Diponegoro untuk tidak ikut-ikutan tergerus invasi budaya barat yang merusak akhlak dan moralnya. Peserta didik bisa mengambil contoh untuk menghindari dan menjauhi segala bentuk budaya barat yang merusak. Selain itu, perlawanan Pangeran Diponegoro karena tanah leluhurnya akan dirusak oleh pemerintah kolonial Belanda juga dapat dijadikan contoh bahwa ketika kekayaan milik bangsa Indonesia akan direbut oleh bangsa lain, mereka harus melawan. Hal inilah yang dapat dijadikan sebagai fondasi dasar bagi mereka karena merekalah yang di masa depan akan menjadi pemimpin di negeri ini. Jika siswa di sekolah dasar tidak memiliki mental yang kuat seperti ini, maka ketika giliran mereka memimpin, kebijakan yang akan mereka buat akan seperti pemimpin di masa sekarang, tidak pernah bisa bersikap tegas terhadap upaya pencurian kekayaan alam Indonesia yang dilakukan oleh bangsa asing.
Materi Perang Diponegoro hanyalah salah satu contoh yang bisa digali nilai-nilai kearifan lokalnya. Sesungguhnya di dalam setiap materi pembelajaran sejarah itu banyak sekali nilai-nilai kearifan lokal yang bisa digali, khususnya mengenai perjuangan untuk merebut kemerdekaan pada masa kolonial Belanda. Dengan penggalian nilai-nilai kearifan local yang ada didalam diri para pahlawan, terutama yang berjuang di daerah tempat peserta didik tinggal dapat membuat mereka terkesan, karena tokoh yang dipelajari oleh mereka perannya begitu penting bagi daerah tempat mereka tinggal, sehingga mereka bisa mencari dan menggali hal-hal menarik yang bisa dijadikan contoh sebagai pegangan hidup mereka.

Sumber bacaan
Ricklefs, MC. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Supriatna, N. 2007. Konstruksi Pembelajaran Kritis. Bandung: Historia Utama Press.