Oleh : Angga Yudistira Permana, S.Pd
Permasalahan
korupsi di Negara Indonesia dewasa ini telah menjadi permasalahan sosial yang
umum terjadi. Berbicara mengenai korupsi di Indonesia, sebagian masyarakat
hanya melihatnya dari satu sudut pandang saja yaitu hanya terbatas pada
kasus-kasus besar mengenai “pencurian” uang negara oleh para pejabat.
Pengertian mengenai korupsi itu sendiri pun terdistorsi oleh
pandangan-pandangan media massa yang hampir selalu menampilkan headline berita mengenai kasus korupsi
yang menimpa para politisi dan pejabat negara. Baru-baru ini muncul di media
massa mengenai kasus yang menimpa Menpora Andi Malarangeng (saat ini sudah
mengundurkan diri) yang dicurigai terlibat dalam skandal Hambalang. Hal ini
semakin mempertegas bahwa kasus korupsi seolah-olah hanya akan menimpa
tokoh-tokoh nasional yang memiliki jaringan terhadap roda kebijakan publik.
Tetapi yang kini jadi pertanyaan, apakah korupsi itu terjadi begitu saja ketika
seseorang sudah menjadi pejabat atau memiliki posisi yang nyaman untuk korupsi?
Korupsi merupakan suatu penyakit
sosial yang tidak hanya berupa pencurian dengan sengaja apa-apa yang seharusnya
menjadi milik negara, tetapi korupsi juga memiliki pengertian yang lebih luas
daripada itu. Seseorang bisa dianggap korupsi apabila dia tidak bisa
mempertanggungjawabkan kegiatan yang berhubungan langsung dengan dana publik.
Pertanggungjawaban itu berupa laporan tertulis mengenai suatu kegiatan yang
menggunakan aset publik. Terkadang manusia sering lupa menulis laporan yang
lengkap dan detil yang pada akhirnya akan menyeret pada kasus korupsi.
Seseorang yang memiliki watak yang jujur dapat terjerat kasus korupsi ketika ia
lupa menulis laporan mengenai kegiatan yang ia lakukan. Bahkan tidak sedikit
yang terseret kasus korupsi hanya karena salah dalam menuliskan laporan keuangan,
walaupun nominalnya sebatas Rp 1000,-.
Akan tetapi masyarakat tidak bisa
disalahkan atas stigma korupsi yang melekat selama ini. Kasus-kasus besar yang
sering ditampilkan di dalam media massa selama ini ternyata tidak membuat efek
jera para pejabat publik yang “nakal”. Pemberian hukuman yang ringan, beserta
grasi yang diberikan oleh Presiden terhadap terpidana kasus korupsi pada
kenyataannya membuat terpida kasus korupsi berada pada zona nyaman. Mereka
tidak jera, karena toh ketika mereka keluar dari hotel prodeo, mereka masih
bisa menikmati kekayaan dari hasil korupsi. Tidak sedikit dari mereka yang
bahkan melarikan diri ke Singapura dimana kekuatan hukum negara Indonesia tidak
dapat menyentuhnya. Hal ini merupakan pembelajaran yang buruk bagi masyarakat
Indonesia secara keseluruhan. Seharusnya para pembuat kebijakan mengambil
keputusan yang benar-benar bijak agar hukum benar-benar menjadi pembelajaran
yang efektif bagi publik secara keseluruhan.
Jika ditarik secara historis, kasus
korupsi di Indonesia bukan merupakan kasus yang benar-benar baru. Kasus korupsi
di Indonesia dapat tumbuh subur akibat paham feodalisme yang masih mengikat
kehidupan sosial masyarakat di Indonesia. Di Indonesia, pemimpin yang
seharusnya menjadi pelayan publik tidak menjalankan fungsinya dengan baik,
mereka malah bertindak seolah-olah mereka harus dilayani oleh rakyat. Pola
seperti ini merupakan pola umum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
Indonesia pada masa kerajaan-kerajaan dan pada masa kolonialisme di Indonesia.
Jiwa “inlander” masih saja melekat di dalam jati diri masyarakat Indonesia.
Sebagian dari masyarakat di Indonesia lebih memilih “zona aman” daripada
bertindak kritis terhadap kebijakan yang dilakukan oleh “pemimpinnya”. Di dalam
diri mereka masih melekat kuat prinsip yang berpendapat bahwa mereka “lebih
rendah” daripada “pemimpinnya”. Hal inilah yang pada akhirnya menciptakan
kondisi dimana para “pemimpin” memiliki kesempatan untuk menyalahgunakan
jabatannya. Masyarakat Indonesia baru bertindak ketika media massa mulai
menyoroti ketidakberesan pada diri “pemimpin” mereka. Bisa dikatakan bahwa
opini mereka tentang seseorang yang melakukan korupsi hanya terbatas pada opini
yang dikembangkan oleh media massa.
Kasus korupsi yang terjadi pada masa
pemerintahan VOC (baca: kantor dagang
belanda di Hindia Timur) tidak dijadikan sebagai sumber pelajaran utama bahwa
korupsi dapat menghancurkan suatu organisasi yang begitu kuat dan berusia
beratus tahun lamanya hanya dalam sekejap. Usia VOC yang pada saat itu menginjak
198 tahun dapat langsung hancur dan bubar ketika para pegawai VOC melakukan
tindakan korupsi. Coba bandingkan dengan umur negara Indonesia yang baru
menginjak usia 67 tahun?. Bukan tidak mungkin pada akhirnya kehancuran akan
menimpa negara ini, dan pada saatnya pula Indonesia akan bubar, sama nasibnya
dengan VOC.
Sudah seharusnya masyarakat Indonesia
belajar dari sejarah kelam pemerintahan-pemerintahan di zaman dulu. Selain itu,
masyakarat Indonesia juga harus mulai belajar arti sesungguhnya dari
patriotisme dan nasionalisme. Semangat patriotisme dan nasionalisme seharusnya tidak
hanya sebatas mencintai produk dalam negeri, mencintai keindahan alam dan
menjaga kelestariannya. Tetapi semangat patriotisme dan nasionalisme juga harus
ditekankan pada kecintaan akan keutuhan bangsa dengan tidak melakukan tindakan
yang dapat merusak keutuhan tersebut. Tindakan separatisme merupakan faktor
pemicu yang dapat mendorong pecahnya NKRI, tetapi sebab-sebab dari separatisme
juga bisa dimulai dari kegiatan korupsi yang pada akhirnya akan mendorong
terjadinya gerakan tersebut.
Untuk mencegah terjadinya korupsi dalam skala yang luas,
seharusnya masyarakat Indonesia juga belajar untuk tidak korupsi pada
skal-skala yang kecil, misalnya dengan tidak melakukan korupsi waktu dan
belajar menulis laporan kegiatan dengan baik dan benar serta tidak melakukan
tindakan mark up yang biasanya
dilakukan oleh seseorang agar bisa mendapatkan keuntungan pada suatu kegiatan. Wallahu’alam bishowab.