Jumat, 07 Desember 2012

Belajar Toleransi Dari Peninggalan Penyebaran Islam di Indonesia

Oleh: Angga Yudistira Permana, S.Pd


Persoalan yang melanda bangsa Indonesia semakin hari semakin kompleks dan menantang untuk dihadapi. Dimulai dari bencana alam, hingga bencana-bencana sosial yang semakin memprihatinkan. Bangsa Indonesia yang sejak masa Hindu-Budha berkembang hingga masa penjajahan dikenal sebagai bangsa yang toleran, ramah, dan berbudi luhur kini harus dipertanyakan kembali kebenarannya saat ini. Perpecahan pun mulai terjadi dimana-mana karena hal-hal yang berbau sara. Prinsip “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tapi satu kini seolah tidak bermakna sama sekali. Orang-orang saling berebut untuk mendapatkan hegemoni karena menganggap bahwa pemikiran mereka paling benar. Selain itu, bermunculan juga kelompok-kelompok ekstrim dengan mengatasnamakan agama melakukan tindakan-tindakan yang sangat tidak berprikemanusiaan, seperti merusak fasilitas umum, membubarkan paksa perkumpulan-perkumpulan yang dianggap mengajarkan ajaran sesat, bahkan berani melakukan tindakan “main hakim sendiri” terhadap orang-orang yang mereka anggap melakukan tindakan maksiat. Hal ini menandakan kehidupan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah semakin hilang maknanya di dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Hilangnya rasa toleransi juga kini mulai terasa dalam kehidupan politik dan keagamaan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di dalam kehidupan politik kini mulai bermunculan kelompok-kelompok ekstrim yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, sedangkan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen yang terdiri dari berbagai jenis suku bangsa dan agama serta kepercayaan. Mereka inilah orang-orang yang telah diberi doktrin-doktrin politik yang menjadikan Islam sebagai alat politik. Mereka tidak memahami bahwa Islam dapat berkembang di Indonesia dikarenakan ajaran Islam yang dibawa oleh wali songo pada masa lampau sifatnya toleran terhadap kebudayaan masyarakat setempat. Mereka tidak paham bahwa Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam betul-betul menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, tidak menjadikannya sebagai alat politik. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan sentimen keagamaan yang begitu kuat, khususnya di wilayah Indonesia Timur yang mayoritas masyarakatnya adalah non muslim. Seperti di Poso misalnya, sejak akhir tahun 90-an terjadi konflik agama yang berujung pada bentrokan bersenjata antara masyarakat yang beragama kristem melawan masyarakat yang beragama Islam. Hal ini dikarenakan salah satu dari kedua agama tersebut ingin memiliki dominasi atas agama lain di berbagai bidang. Sama halnya apabila konsep pendirian negara Islam di Indonesia ini terus dipaksakan, maka bukan tidak mungkin fenomena yang terjadi di Poso akan kembali terulang di wilayah lainnya.
Fungsi pembelajaran sejarah bagi peserta didik bukan hanya untuk menceritakan suatu fakta sejarah, tetapi mereka juga harus diberi pemahaman mengenai latar belakang fakta itu muncul. Islam berkembang pesat di Indonesia sejak awal kemunculannya di Indonesia merupakan fakta yang tidak bisa dibantah lagi kebenerannya, tetapi yang harus difokuskan disini adalah mengapa perkembangan Islam di Indonesia bisa sangat pesat bahkan mengalahkan perkembangan Islam di India yang lebih dulu hadir. Hal inilah yang seharusnya lebih ditekankan kepada peserta didik agar peserta didik paham mengapa dalam sejarah perkembangannya Islam begitu diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal ini akan memberikan penyadaran kepada para peserta didik bahwa gerakan-gerakan ekstrimis yang mengatasnamakan agama, terutama agama Islam, akan banyak membawa dampak yang buruk bagi perkembangan Islam di Indonesia, bahkan lebih parahnya lagi akan membuat persatuan bangsa terancam.
Ajaran Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan dan dibawa oleh para pedagang dari Arab dan Gujarat. Islam diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia dengan cara halus tanpa peperangan, seperti yang terjadi di India misalnya, sehingga masyarakat Indonesia mau menerima ajaran yang masih dianggap baru ini. Selain itu, para wali songo yang bertugas untuk menyebarkan ajaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, melakukan akulturasi antara ajaran Islam dengan kebudayaan masyarakat setempat. Hal inilah yang membuat masyarakat tertarik untuk memeluk agama Islam, serta meninggalkan kepercayaan lama mereka seperti kepercayaan animisme dan dinamisme. Akulturasi semacam itu dilakukan bertujuan agar masyarakat Indonesia tidak terlalu kaget dengan perubahan-perubahan yang harus mereka lakukan ketika mereka menjadi seorang muslim, selain itu para wali juga tidak pernah memaksa seseorang untuk mengikuti ajaran mereka, tetapi para wali mencoba memberi pemahaman bahwa Islam itu adalah agama kedamaian. Inilah salah satu factor yang menentukan kenapa ajaran Islam begitu pesat perkembangannya di Indonesia.
Akulturasi ajaran Islam dengan kebudayaan daerah di Indonesia dapat dilihat dari berbagai peninggalan-peninggalan peradaban Islam di Indonesia. Peninggalan-peninggalan ini sangat membantu kita untuk mengetahui berbagai alasan mengapa ajaran Islam begitu diterima oleh masyarakat Indonesia, bahkan orang-orang muslim di Indonesia pada saat itu dapat hidup berdampingan dengan masyarakat yang masih menganut ajaran Hindu-Budha di Indonesia. Jika dibandingkan dengan zaman sekarang, mungkin cukup sulit untuk menemukan keserasian hidup antar umat beragama yang dicontohkan oleh nenek moyang kita. Peninggalan-peninggalan yang dapat memberikan kita cerminan tentang keadaan tersebut antara lain misalnya:
a.       Kesenian wayang kulit
Kesenian wayang kulit diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai media yang digunakan untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Sunan Kalijaga memahami bahwa sebenarnya bangsa Indonesia itu adalah bangsa yang mencintai kesenian, sehingga ia kemudian mencoba menggelar lakon wayang kulit yang berjudul “Aji Kalimasada”. Apabila ada orang yang tertarik untuk menonton acara wayang kulit tersebut, Sunan Kalijaga meminta orang tersebut untuk membaca dua kalimat syahadat sebagai tiket masuk. Selain itu, isi cerita lelakon yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga juga merupakan dakwah-dakwah Islami yang pada akhirnya membuat masyarakat tertarik untuk mempelajari Islam dan menjadi pemeluknya.
b.      Mesjid Menara Kudus
Mesjid ini dibangun oleh Jafar Shodiq pada tahun 1549 M. Mesjid ini dinamakan mesjid kudus karena di dalam sebuah inskripsi di dalam mesjid tersebut tertulis sebuah kalimat dalam bahasa arab yang artinya “…Telah mendirikan Masjid Aqsa ini di negeri Quds…”. Karena bangunan inilah pada akhirnya Jafar Shodiq diberi gelar Sunan Kudus. Mesjid menara kudus begitu terkenal karena arsitekturnya yang dinilai “sangat berani” dengan memadukannya dengan arsitektur bangunan candi. Sunan Kudus melakukan hal ini dengan tujuan untuk menarik minat pemeluk agama Hindu-Budha untuk mempelajari ajaran Islam. Bahkan menurut cerita rakyat yang berkembang, pada setiap hari jum’at, sebelum melaksanakan ibadah shalat Jum’at, Sunan Kudus selalu memandian sapi-sapi di halaman masjid. Selain itu, untuk menghormati pemeluk agama Hindu, Sunan Kudus mengganti kurban sapi dengan kerbau. Kehidupan toleransi antar umat beragama yang dicontohkan oleh Sunan Kudus sudah seharusnya dijadikan pelajaran bahwa dengan toleransi persatuan dan kesatuan bangsa akan tetap utuh.
Dengan demikian, peninggalan-peninggalan peradaban Islam di Indonesia sudah seharusnya dijadikan sebagai bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang toleran. Selain itu, pemaksaan suatu aturan dengan mengatasnamakan suatu agama manapun tidak akan menjadi solusi, bahkan hanya akan menjadi bumerang bagi keutuhan bangsa. Hal ini jelas sudah tertera di dalam UUD 1945 mengenai kebebasan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar