Oleh: Angga Yudistira Permana, S.Pd
Persoalan yang
melanda bangsa Indonesia semakin hari semakin kompleks dan menantang untuk
dihadapi. Dimulai dari bencana alam, hingga bencana-bencana sosial yang semakin
memprihatinkan. Bangsa Indonesia yang sejak masa Hindu-Budha berkembang hingga
masa penjajahan dikenal sebagai bangsa yang toleran, ramah, dan berbudi luhur
kini harus dipertanyakan kembali kebenarannya saat ini. Perpecahan pun mulai
terjadi dimana-mana karena hal-hal yang berbau sara. Prinsip “Bhineka Tunggal
Ika” yang artinya berbeda-beda tapi satu kini seolah tidak bermakna sama
sekali. Orang-orang saling berebut untuk mendapatkan hegemoni karena menganggap
bahwa pemikiran mereka paling benar. Selain itu, bermunculan juga
kelompok-kelompok ekstrim dengan mengatasnamakan agama melakukan
tindakan-tindakan yang sangat tidak berprikemanusiaan, seperti merusak
fasilitas umum, membubarkan paksa perkumpulan-perkumpulan yang dianggap
mengajarkan ajaran sesat, bahkan berani melakukan tindakan “main hakim sendiri”
terhadap orang-orang yang mereka anggap melakukan tindakan maksiat. Hal ini
menandakan kehidupan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah
semakin hilang maknanya di dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Hilangnya rasa
toleransi juga kini mulai terasa dalam kehidupan politik dan keagamaan hampir
di seluruh wilayah Indonesia. Di dalam kehidupan politik kini mulai bermunculan
kelompok-kelompok ekstrim yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam,
sedangkan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen yang terdiri dari
berbagai jenis suku bangsa dan agama serta kepercayaan. Mereka inilah
orang-orang yang telah diberi doktrin-doktrin politik yang menjadikan Islam
sebagai alat politik. Mereka tidak memahami bahwa Islam dapat berkembang di
Indonesia dikarenakan ajaran Islam yang dibawa oleh wali songo pada masa lampau
sifatnya toleran terhadap kebudayaan masyarakat setempat. Mereka tidak paham
bahwa Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam betul-betul menjadikan Islam
sebagai pedoman hidup, tidak menjadikannya sebagai alat politik. Hal inilah
yang pada akhirnya memunculkan sentimen keagamaan yang begitu kuat, khususnya
di wilayah Indonesia Timur yang mayoritas masyarakatnya adalah non muslim.
Seperti di Poso misalnya, sejak akhir tahun 90-an terjadi konflik agama yang
berujung pada bentrokan bersenjata antara masyarakat yang beragama kristem
melawan masyarakat yang beragama Islam. Hal ini dikarenakan salah satu dari
kedua agama tersebut ingin memiliki dominasi atas agama lain di berbagai
bidang. Sama halnya apabila konsep pendirian negara Islam di Indonesia ini
terus dipaksakan, maka bukan tidak mungkin fenomena yang terjadi di Poso akan
kembali terulang di wilayah lainnya.
Fungsi
pembelajaran sejarah bagi peserta didik bukan hanya untuk menceritakan suatu
fakta sejarah, tetapi mereka juga harus diberi pemahaman mengenai latar
belakang fakta itu muncul. Islam berkembang pesat di Indonesia sejak awal
kemunculannya di Indonesia merupakan fakta yang tidak bisa dibantah lagi
kebenerannya, tetapi yang harus difokuskan disini adalah mengapa perkembangan
Islam di Indonesia bisa sangat pesat bahkan mengalahkan perkembangan Islam di
India yang lebih dulu hadir. Hal inilah yang seharusnya lebih ditekankan kepada
peserta didik agar peserta didik paham mengapa dalam sejarah perkembangannya
Islam begitu diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal ini akan memberikan
penyadaran kepada para peserta didik bahwa gerakan-gerakan ekstrimis yang
mengatasnamakan agama, terutama agama Islam, akan banyak membawa dampak yang
buruk bagi perkembangan Islam di Indonesia, bahkan lebih parahnya lagi akan
membuat persatuan bangsa terancam.
Ajaran Islam
pertama kali masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan dan dibawa oleh para
pedagang dari Arab dan Gujarat. Islam diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia
dengan cara halus tanpa peperangan, seperti yang terjadi di India misalnya,
sehingga masyarakat Indonesia mau menerima ajaran yang masih dianggap baru ini.
Selain itu, para wali songo yang bertugas untuk menyebarkan ajaran Islam di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, melakukan akulturasi antara ajaran Islam
dengan kebudayaan masyarakat setempat. Hal inilah yang membuat masyarakat
tertarik untuk memeluk agama Islam, serta meninggalkan kepercayaan lama mereka
seperti kepercayaan animisme dan dinamisme. Akulturasi semacam itu dilakukan
bertujuan agar masyarakat Indonesia tidak terlalu kaget dengan
perubahan-perubahan yang harus mereka lakukan ketika mereka menjadi seorang
muslim, selain itu para wali juga tidak pernah memaksa seseorang untuk mengikuti
ajaran mereka, tetapi para wali mencoba memberi pemahaman bahwa Islam itu
adalah agama kedamaian. Inilah salah satu factor yang menentukan kenapa ajaran
Islam begitu pesat perkembangannya di Indonesia.
Akulturasi
ajaran Islam dengan kebudayaan daerah di Indonesia dapat dilihat dari berbagai
peninggalan-peninggalan peradaban Islam di Indonesia. Peninggalan-peninggalan
ini sangat membantu kita untuk mengetahui berbagai alasan mengapa ajaran Islam
begitu diterima oleh masyarakat Indonesia, bahkan orang-orang muslim di
Indonesia pada saat itu dapat hidup berdampingan dengan masyarakat yang masih
menganut ajaran Hindu-Budha di Indonesia. Jika dibandingkan dengan zaman
sekarang, mungkin cukup sulit untuk menemukan keserasian hidup antar umat
beragama yang dicontohkan oleh nenek moyang kita. Peninggalan-peninggalan yang dapat
memberikan kita cerminan tentang keadaan tersebut antara lain misalnya:
a. Kesenian
wayang kulit
Kesenian
wayang kulit diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai media yang digunakan
untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Sunan Kalijaga memahami bahwa sebenarnya
bangsa Indonesia itu adalah bangsa yang mencintai kesenian, sehingga ia
kemudian mencoba menggelar lakon wayang kulit yang berjudul “Aji Kalimasada”.
Apabila ada orang yang tertarik untuk menonton acara wayang kulit tersebut,
Sunan Kalijaga meminta orang tersebut untuk membaca dua kalimat syahadat sebagai
tiket masuk. Selain itu, isi cerita lelakon yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga
juga merupakan dakwah-dakwah Islami yang pada akhirnya membuat masyarakat
tertarik untuk mempelajari Islam dan menjadi pemeluknya.
b. Mesjid
Menara Kudus
Mesjid
ini dibangun oleh Jafar Shodiq pada tahun 1549 M. Mesjid ini dinamakan mesjid
kudus karena di dalam sebuah inskripsi di dalam mesjid tersebut tertulis sebuah
kalimat dalam bahasa arab yang artinya “…Telah
mendirikan Masjid Aqsa ini di negeri Quds…”. Karena bangunan inilah pada
akhirnya Jafar Shodiq diberi gelar Sunan Kudus. Mesjid menara kudus begitu
terkenal karena arsitekturnya yang dinilai “sangat berani” dengan memadukannya
dengan arsitektur bangunan candi. Sunan Kudus melakukan hal ini dengan tujuan
untuk menarik minat pemeluk agama Hindu-Budha untuk mempelajari ajaran Islam.
Bahkan menurut cerita rakyat yang berkembang, pada setiap hari jum’at, sebelum
melaksanakan ibadah shalat Jum’at, Sunan Kudus selalu memandian sapi-sapi di
halaman masjid. Selain itu, untuk menghormati pemeluk agama Hindu, Sunan Kudus
mengganti kurban sapi dengan kerbau. Kehidupan toleransi antar umat beragama
yang dicontohkan oleh Sunan Kudus sudah seharusnya dijadikan pelajaran bahwa
dengan toleransi persatuan dan kesatuan bangsa akan tetap utuh.
Dengan demikian,
peninggalan-peninggalan peradaban Islam di Indonesia sudah seharusnya dijadikan
sebagai bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang toleran. Selain itu,
pemaksaan suatu aturan dengan mengatasnamakan suatu agama manapun tidak akan
menjadi solusi, bahkan hanya akan menjadi bumerang bagi keutuhan bangsa. Hal
ini jelas sudah tertera di dalam UUD 1945 mengenai kebebasan beragama bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar