Jumat, 07 Desember 2012

Korupsi, Bukti Masyarakat Indonesia Tidak Pernah Belajar Dari Sejarah

Oleh : Angga Yudistira Permana, S.Pd


           Permasalahan korupsi di Negara Indonesia dewasa ini telah menjadi permasalahan sosial yang umum terjadi. Berbicara mengenai korupsi di Indonesia, sebagian masyarakat hanya melihatnya dari satu sudut pandang saja yaitu hanya terbatas pada kasus-kasus besar mengenai “pencurian” uang negara oleh para pejabat. Pengertian mengenai korupsi itu sendiri pun terdistorsi oleh pandangan-pandangan media massa yang hampir selalu menampilkan headline berita mengenai kasus korupsi yang menimpa para politisi dan pejabat negara. Baru-baru ini muncul di media massa mengenai kasus yang menimpa Menpora Andi Malarangeng (saat ini sudah mengundurkan diri) yang dicurigai terlibat dalam skandal Hambalang. Hal ini semakin mempertegas bahwa kasus korupsi seolah-olah hanya akan menimpa tokoh-tokoh nasional yang memiliki jaringan terhadap roda kebijakan publik. Tetapi yang kini jadi pertanyaan, apakah korupsi itu terjadi begitu saja ketika seseorang sudah menjadi pejabat atau memiliki posisi yang nyaman untuk korupsi?
           Korupsi merupakan suatu penyakit sosial yang tidak hanya berupa pencurian dengan sengaja apa-apa yang seharusnya menjadi milik negara, tetapi korupsi juga memiliki pengertian yang lebih luas daripada itu. Seseorang bisa dianggap korupsi apabila dia tidak bisa mempertanggungjawabkan kegiatan yang berhubungan langsung dengan dana publik. Pertanggungjawaban itu berupa laporan tertulis mengenai suatu kegiatan yang menggunakan aset publik. Terkadang manusia sering lupa menulis laporan yang lengkap dan detil yang pada akhirnya akan menyeret pada kasus korupsi. Seseorang yang memiliki watak yang jujur dapat terjerat kasus korupsi ketika ia lupa menulis laporan mengenai kegiatan yang ia lakukan. Bahkan tidak sedikit yang terseret kasus korupsi hanya karena salah dalam menuliskan laporan keuangan, walaupun nominalnya sebatas Rp 1000,-.
            Akan tetapi masyarakat tidak bisa disalahkan atas stigma korupsi yang melekat selama ini. Kasus-kasus besar yang sering ditampilkan di dalam media massa selama ini ternyata tidak membuat efek jera para pejabat publik yang “nakal”. Pemberian hukuman yang ringan, beserta grasi yang diberikan oleh Presiden terhadap terpidana kasus korupsi pada kenyataannya membuat terpida kasus korupsi berada pada zona nyaman. Mereka tidak jera, karena toh ketika mereka keluar dari hotel prodeo, mereka masih bisa menikmati kekayaan dari hasil korupsi. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan melarikan diri ke Singapura dimana kekuatan hukum negara Indonesia tidak dapat menyentuhnya. Hal ini merupakan pembelajaran yang buruk bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Seharusnya para pembuat kebijakan mengambil keputusan yang benar-benar bijak agar hukum benar-benar menjadi pembelajaran yang efektif bagi publik secara keseluruhan.
            Jika ditarik secara historis, kasus korupsi di Indonesia bukan merupakan kasus yang benar-benar baru. Kasus korupsi di Indonesia dapat tumbuh subur akibat paham feodalisme yang masih mengikat kehidupan sosial masyarakat di Indonesia. Di Indonesia, pemimpin yang seharusnya menjadi pelayan publik tidak menjalankan fungsinya dengan baik, mereka malah bertindak seolah-olah mereka harus dilayani oleh rakyat. Pola seperti ini merupakan pola umum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada masa kerajaan-kerajaan dan pada masa kolonialisme di Indonesia. Jiwa “inlander” masih saja melekat di dalam jati diri masyarakat Indonesia. Sebagian dari masyarakat di Indonesia lebih memilih “zona aman” daripada bertindak kritis terhadap kebijakan yang dilakukan oleh “pemimpinnya”. Di dalam diri mereka masih melekat kuat prinsip yang berpendapat bahwa mereka “lebih rendah” daripada “pemimpinnya”. Hal inilah yang pada akhirnya menciptakan kondisi dimana para “pemimpin” memiliki kesempatan untuk menyalahgunakan jabatannya. Masyarakat Indonesia baru bertindak ketika media massa mulai menyoroti ketidakberesan pada diri “pemimpin” mereka. Bisa dikatakan bahwa opini mereka tentang seseorang yang melakukan korupsi hanya terbatas pada opini yang dikembangkan oleh media massa.
            Kasus korupsi yang terjadi pada masa pemerintahan  VOC (baca: kantor dagang belanda di Hindia Timur) tidak dijadikan sebagai sumber pelajaran utama bahwa korupsi dapat menghancurkan suatu organisasi yang begitu kuat dan berusia beratus tahun lamanya hanya dalam sekejap. Usia VOC yang pada saat itu menginjak 198 tahun dapat langsung hancur dan bubar ketika para pegawai VOC melakukan tindakan korupsi. Coba bandingkan dengan umur negara Indonesia yang baru menginjak usia 67 tahun?. Bukan tidak mungkin pada akhirnya kehancuran akan menimpa negara ini, dan pada saatnya pula Indonesia akan bubar, sama nasibnya dengan VOC.
            Sudah seharusnya masyarakat Indonesia belajar dari sejarah kelam pemerintahan-pemerintahan di zaman dulu. Selain itu, masyakarat Indonesia juga harus mulai belajar arti sesungguhnya dari patriotisme dan nasionalisme. Semangat patriotisme dan nasionalisme seharusnya tidak hanya sebatas mencintai produk dalam negeri, mencintai keindahan alam dan menjaga kelestariannya. Tetapi semangat patriotisme dan nasionalisme juga harus ditekankan pada kecintaan akan keutuhan bangsa dengan tidak melakukan tindakan yang dapat merusak keutuhan tersebut. Tindakan separatisme merupakan faktor pemicu yang dapat mendorong pecahnya NKRI, tetapi sebab-sebab dari separatisme juga bisa dimulai dari kegiatan korupsi yang pada akhirnya akan mendorong terjadinya gerakan tersebut.
            Untuk mencegah terjadinya korupsi dalam skala yang luas, seharusnya masyarakat Indonesia juga belajar untuk tidak korupsi pada skal-skala yang kecil, misalnya dengan tidak melakukan korupsi waktu dan belajar menulis laporan kegiatan dengan baik dan benar serta tidak melakukan tindakan mark up yang biasanya dilakukan oleh seseorang agar bisa mendapatkan keuntungan pada suatu kegiatan. Wallahu’alam bishowab.  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar