Oleh: Angga Yudistira Permana S.Pd
Dewasa ini
bangsa Indonesia sedang mengalami distorsi moralitas yang diakibatkan oleh
“invasi” budaya barat. Sebagian besar masyarakat Indonesia baik tua maupun muda
telah kehilangan identitasnya sebagai bangsa timur yang ditandai dengan
ketidaktahuan mereka tentang adat istiadat bangsanya sendiri. Mereka lebih
tertarik untuk mempelajari hal-hal yang berbau budaya pop dibandingkan dengan
mempelajari budayanya sendiri. Selain itu, rasa cinta mereka terhadap tanah air
Indonesia semakin lama semakin meredup karena anggapan mempelajari budaya
sendiri itu susah. Mereka seakan-akan kehilangan panutan yang berasal dari
bangsanya sendiri. Bahkan tak sedikit bocah SD yang lebih mengenal tokoh
Spiderman sebagai pahlawan dibandingkan dengan Pangeran Diponegoro. Padahal
Spiderman merupakan tokoh fiksi hasil rekayasa seniman barat, sedangkan
Pangeran Diponegoro nyata keberadaannya. Hal ini berdampak pada semangat
nasionalisme mereka yang semakin pudar ketika menginjak usia dewasa.
Masalah yang
penulis kemukakan diatas hendaknya dapat dijawab oleh para praktisi pendidikan,
khususnya yang mengajar di sekolah dasar. Pembelajaran sejarah atau IPS Terpadu
di sekolah dasar memiliki peran yang penting untuk ikut serta dalam menyiapkan
peserta didik yang memiliki semangat nasionalisme yang tinggi serta kepribadian
yang luhur di masa yang akan datang. Tentu saja semangat nasionalisme ini harus
selalu dibarengi dengan kepribadian yang mencirikan bangsa Indonesia secara
keseluruhan karena ditakutkan semangat nasionalisme ini akan berkembang menjadi
ultranasionalisme yang bertentangan dengan prinsip-prinsip di dalam Pancasila
dan UUD 1945.
Guru di sekolah
dasar memiliki peran yang sangat penting dalam membangun kepribadian peserta
didik karena sekolah dasar secara umum merupakan fase awal dari jenjang pendidikan
di Indonesia. Dengan kata lain, sekolah dasar berperan sebagai fondasi awal
bagi pembentukan karakter bangsa. Untuk membentuk karakter tersebut, tentu guru
harus mengetahui bagaimana ciri dari kepribadian atau karakter bangsa Indonesia
secara umum. Disinilah peran pembelajaran sejarah diperlukan, karena hanya
melalui pembelajaran sejarah peserta didik dapat bercermin dari kearifan dan
kebijaksanaan tokoh-tokoh yang berperan dalam menulis tinta sejarah bangsa Indonesia.
Pembelarajaran sejarah disini tidak hanya berkutat dengan fakta-fakta sejarah,
tetapi juga murid harus bisa memahami mengapa fakta sejarah tersebut ada.
Pada dasarnya
manusia seringkali lupa ketika ia menghapal sesuatu, tetapi apabila ada suatu
peristiwa yang berkesan, ia akan selalu mengingatnya. Tugas seorang guru di
sekolah dasar dalam hal ini adalah untuk membuat peserta didik terkesan ketika
ia menyampaikan materi pembelajaran sejarah. Tentu saja hal ini tidak cukup
dengan gaya mengajar ceramah yang cenderung menceritakan kembali peristiwa
sejarah, karena hal ini hanya membuat murid bisa mendengar tanpa bisa
mengaitkannya dengan kondisi saat ini. Dengan pembelajaran seperti ini bukan
tidak mungkin banyak peserta didik yang lupa akan konten materi yang telah
disampaikan oleh guru di kelas. Jika sudah begitu, bagaimana mungkin
kepribadian luhur yang diharapkan dapat terbentuk?
Menurut
Supriatna (2007: 5) dalam pembelajaran sejarah, kajian mengenai sejarah
tertentu harus relevan dengan apa yang berlangsung pada persoalan di masa kini.
Dengan bahasa yang sama, ketika membicarakan mengenai Perang Diponegoro harus
sampai pada latar belakang kehidupan masyarakat Jawa sebelum terjadinya perang.
Dengan hal ini, peserta didik dapat mengetahui persoalan-persoalan yang menjadi
latar belakang Pangeran Diponegoro menyatakan perang terhadap pemerintah
kolonial Belanda. Penulis melihat dan mengalami bagaimana guru-guru di sekolah
dasar hanya mengajarkan sebatas fakta-fakta mengenai Perang Diponegoro, yang
seyogyanya tertulis secara jelas di dalam buku teks atau lks. Selain itu,
semangat persatuan dan kesatuan yang dipupuk melalui kepercayaan terhadap common enemy, yaitu pemerintah kolonial
Belanda, penulis rasa sudah tidak relevan karena saat ini kita hidup di masa
damai. Seharusnya, pada masa-masa seperti inilah peran guru di sekolah dasar
dititikberatkan pada penggalian nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di
dalam diri seorang Pangeran Diponegoro agar kedepannya bisa dijadikan panutan
atau tokoh favorit peserta didik.
Perang
Diponegoro menurut Ricklefs (2007: 254) terjadi karena Pangeran Diponegoro
tidak suka dengan gaya hidup kraton yang tidak lagi mengindahkan aturan-aturan
adat dan agama. Kebiasaan keluarga kraton yang selalu berpesta dan
minum-minuman keras memaksa Pangeran Diponegoro untuk keluar dari istana dan
memilih menjalani kehidupan di luar istana. Perang benar-benar terjadi setelah
pihak keraton dengan bantuan pemerintah kolonial berencana untuk membangun
jalan raya baru di daerah Tegalrejo. Pangeran Diponegoro tidak menyukai rencana
tersebut karena tanah yang akan dijadikan sebagai lahan jalan merupakan tanah
kuburan leluhur yang amat ia hormati. Hal inilah yang kemudian memicu
terjadinya Perang Diponegoro dari tahun 1825-1830.
Kebiasaan buruk
yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda ke dalam keratonlah yang memaksa
Pangeran Diponegoro untuk keluar dari istana, bahkan melawan ketika Belanda
berupaya merusak tanah leluhurnya. Disinilah letak kearifan local yang dapat
digali dan diterapkan pada peserta didik. Peserta didik tidak hanya memahami
nasionalisme saja, tetapi juga memahami bagaimana bentuk nasionalisme Indonesia
itu sendiri. Jika dikaitkan dengan kondisi jaman sekarang, peserta didik dapat
meniru langkah Diponegoro untuk tidak ikut-ikutan tergerus invasi budaya barat
yang merusak akhlak dan moralnya. Peserta didik bisa mengambil contoh untuk
menghindari dan menjauhi segala bentuk budaya barat yang merusak. Selain itu,
perlawanan Pangeran Diponegoro karena tanah leluhurnya akan dirusak oleh
pemerintah kolonial Belanda juga dapat dijadikan contoh bahwa ketika kekayaan
milik bangsa Indonesia akan direbut oleh bangsa lain, mereka harus melawan. Hal inilah yang dapat
dijadikan sebagai fondasi dasar bagi mereka karena merekalah yang di masa depan
akan menjadi pemimpin di negeri ini. Jika siswa di sekolah dasar tidak memiliki
mental yang kuat seperti ini, maka ketika giliran mereka memimpin, kebijakan
yang akan mereka buat akan seperti pemimpin di masa sekarang, tidak pernah bisa
bersikap tegas terhadap upaya pencurian kekayaan alam Indonesia yang dilakukan
oleh bangsa asing.
Materi Perang
Diponegoro hanyalah salah satu contoh yang bisa digali nilai-nilai kearifan
lokalnya. Sesungguhnya di dalam setiap materi pembelajaran sejarah itu banyak
sekali nilai-nilai kearifan lokal yang bisa digali, khususnya mengenai
perjuangan untuk merebut kemerdekaan pada masa kolonial Belanda. Dengan
penggalian nilai-nilai kearifan local yang ada didalam diri para pahlawan,
terutama yang berjuang di daerah tempat peserta didik tinggal dapat membuat
mereka terkesan, karena tokoh yang dipelajari oleh mereka perannya begitu
penting bagi daerah tempat mereka tinggal, sehingga mereka bisa mencari dan
menggali hal-hal menarik yang bisa dijadikan contoh sebagai pegangan hidup
mereka.
Sumber bacaan
Ricklefs, MC. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Supriatna, N. 2007. Konstruksi Pembelajaran Kritis. Bandung:
Historia Utama Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar